KATA PENGANTAR
Puji syukur
kami panjatkan ke hadirat Allah SWT. bahwa kami telah menyelesaikan tugas mata
kuliah Imunologi dengan membahas Pembentukan
Kekebalan Terhadap Infeksi Filaria dalam bentuk
makalah.
Makalah ini kami tulis
berdasarkan hasil pencarian kami dari beberapa sumber. isi makalah ini mencakup
tentang Definisi Imunologi dan Penyakit
Filariasis, Pembentukan Kekebalan Infeksi Primer, Pembentukan Kekebalan Infeksi
Sekunder, Aplikasi Imunitas Terhadap Filaria. Makalah ini di
harapkan cukup untuk memberikan informasi walaupun tidak secara detail.
Sudah tentu makalah ini masih jauh dari sempurna dan juga masih
banyak kekurangannya. Maka saran, petunjuk pengarahan, dan bimbingan dari
berbagai pihak sangat kami harapkan.
Penulis harapkan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Palangkaraya,
22 April 2013
Penulis
Daftar Isi
Kata Pengantar
........................................................................................... i
Daftar Isi ...................................................................................................... ii
Bab I
Pendahuluan ..................................................................................... 1
1.1 latar Belakang ................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah
............................................................................ 2
1.3 Tujuan ............................................................................................... 2
1.4 Manfaat ............................................................................................ 2
Bab II
Pembahasan ..................................................................................... 3
2.1 Definisi
Imunologi dan Penyakit Filariasis ...................................... 3
2.2 Pembentukan
Kekebalan Infeksi Primer .......................................... 6
2.3 Pembentukan
Kekebalan Infeksi Sekunder ..................................... 7
2.4 Aplikasi
Imunisasi Terhadap Filaria ................................................. 7
Bab III
Penutup ........................................................................................... 8
3.1 Kesimpulan............................................................................................... 8
3.2 Saran......................................................................................................... 8
Daftar Pustaka............................................................................................. iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR
BELAKANG
Filariasis merupakan penyakit
menular yang disebabkan oleh cacing filaria yang ditularkan melalui berbagai
jenis nyamuk. Terdapat tiga spesies cacing penyebab Filariasis yaitu: Wuchereria
bancrofti; Brugia malayi; Brugia timori. Semua spesies tersebut terdapat di
Indonesia, namun lebih dari 70% kasus filariasis di Indonesia disebabkan oleh Brugia
malayi. Cacing tersebut hidup di kelenjar dan saluran getah bening sehingga
menyebabkan kerusakan pada sistem limfatik yang dapat menimbulkan gejala akut
dan kronis. Di Indonesia
diperkirakan terdapat lebih dari 23 spesies vektor nyamuk penular filariasis
yang terdiri dari genus Anopheles, Aedes, Culex, Mansonia, dan Armigeres.
Untuk menimbulkan gejala klinis penyakit filariasis diperlukan beberapa kali
gigitan nyamuk terinfeksi filaria dalam waktu yang lama.
Penyakit filariasis bersifat menahun
(kronis) dan jarang menimbulkan kematian pada penderitanya. Namun, bila
penderita tidak mendapatkan pengobatan, penyakit ini dapat menimbulkan cacat
menetap pada bagian yang mengalami pembengkakan (seperti: kaki, lengan dan alat
kelamin) baik pada penderita laki-laki maupun perempuan. Di Asia Tenggara, terdapat 11 negara yang endemis
terhadap filariasis dan salah satu diantaranya adalah Indonesia. Indonesia
merupakan salah satu negara di Asia Tenggara dengan jumlah penduduk terbanyak
dan wilayah yang luas namun memiliki masalah filariasis yang kompleks. Di
Indonesia, ke tiga jenis cacing filaria (W. Brancrofti, B malayi dan B
timori) dapat ditemukan. (WHO, 2009) .
Filariasis menjadi masalah kesehatan
masyarakat dunia sesuai dengan resolusi World Health Assembly (WHA) pada
tahun 1997. Program eleminasi filariasis di dunia dimulai berdasarkan deklarasi
WHO tahun 2000. di Indonesia program eliminasi filariasis dimulai pada tahun
2002. Untuk mencapai eliminasi, di Indonesia ditetapkan dua pilar yang akan
dilaksanakan yaitu: 1).Memutuskan rantai penularan dengan pemberian obat massal
pencegahan filariasis (POMP filariasis) di daerah endemis; dan 2).Mencegah dan
membatasi kecacatan karena filariasis.
1.2 RUMUSAN
MASALAH
1. Apa definisi imunitas dan penyakit
filariasis ?
2. Bagaimana pembentukan kekebalan
infeksi primer filaria ?
3. Bagaimana pembentukan kekebalan
infeksi sekunder filaria ?
4. Bagaimana aplikasi imunisasi
terhadap filaria ?
1.3 TUJUAN
1.
Untuk mengetahui
definisi imunitas dan penyakit filariasis
2.
Untuk mengetahui
proses pembentukan kekebalan infeksi primer filaria
3.
Untuk mengetahui
proses pembentukan kekebalan infeksi sekunder filaria
4.
Untuk mengetahui
aplikasi imunisasi terhadap filaria
1.4 MANFAAT
1.
Dapat menambah wawasan
tentang imunitas dan penyakit filariasis
2.
Dapat mengetahui
bagaimana proses pembentukan kekebalan
infeksi primer filaria
3.
Dapat mengetahui bagaimana proses pembentukan kekebalan infeksi sekunder
filaria
4.
Dapat mengetahui aplikasi imunisasi terhadap filaria
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Imunitas dan Penyakit Filariasis
Imunitas
: Daya tahan tubuh untuk melawan penyakit
atau melawan infeksi.
Sistem imun : Semua sel dan molekul
yang terlibat dalam imunitas tubuh, merupakan suatu kesatuan fungsional.
Respon imun : Tanggap (respon) terhadap substansi asing yang
masuk ke dalam tubuh, secara kolektif disebut.
Filariasis merupakan penyakit menular yang
disebabkan oleh cacing filaria yang ditularkan melalui berbagai jenis nyamuk.
Terdapat tiga spesies cacing penyebab Filariasis yaitu: Wuchereria
bancrofti; Brugia malayi; Brugia timori. Semua spesies tersebut terdapat di
Indonesia, namun lebih dari 70% kasus filariasis di Indonesia disebabkan oleh Brugia
malayi. Cacing tersebut hidup di kelenjar dan saluran getah bening sehingga
menyebabkan kerusakan pada sistem limfatik yang dapat menimbulkan gejala akut
dan kronis.
Kebanyakan infeksi parasit pada manusia bersifat kronis, karena sistem
imun nonspesifik yang lemah dan kemampuan parasit bertahan terhadap imunitas
spesifik, serta banyak obat antibiotik yang tidak efektif lagi. Vaksin juga
belum berkembang, diperlukan faktor humoral (terutama IgG) yang bersifat
protektif dengan mencegah merozoit memasuki sel darah merah.
A.
Imunitas nonspesifik
-
Terhadap protozoa è fagositosis, namun banyak yang resisten
terhadap efek bakterisidal makrofag, bahkan dapat hidup di dalam makrofag.
-
Terhadap cacing è fagosit juga menyerang cacing dan melepas
bahan mikrobisidal untuk membunuh mikroba yang terlalu besar untuk dimakan.
Beberapa cacing mengaktifkan komplemen lewat jalur alternatif, tetapi banyak
juga parasit yang memiliki lapisan permukaan tebal sehingga resisten terhadap
mekanisme sitosidal neutrofil dan makrofag.
B.
Imunitas spesifik
1. Respons imun yang berbeda
Berbagai
parasit berbeda dalam besar, struktur, sifat biokimiawi, siklus hidup, dan
patogenisitasnya è respons imun spesifik berbeda pula. Infeksi
cacing biasanya kronik dan kematian sel host akan merugikan parasit sendiri è rangsangan antigen persisten è meningkatkan kadar imunoglobulin dan
pembentukan kompleks imun dalam sirkulasi.
2. Infeksi cacing (dengan Th2)
-
Respons terhadapnya lebih kompleks karena lebih besar dan tidak
terfagosit.
-
Pertahanan terhadap cacing diperankan oleh aktivasi sel Th2. Cacing merangsang
subset Th2 sel CD4+ yang melepas IL-4 dan IL-5.
-
IL-4 merangsang produksi IgE, kemudian IgE berikatan dengan cacing.
-
IL-5 merangsang perkembangan dan aktivasi eosinofil è eosinofil mengikat IgE yang tadi sudah ada
cacingnya.
-
Eosinofil mensekresi granul enzim yang menghancurkan parasit.
Granulnya lebih toksik dibanding neutrofil dan makrofag.
-
Reaksi inflamasi yang timbul mencegah menempelnya cacing pada mukosa
saluran cerna.
-
Jika masuk ke saluran cerna è dirusak IgG, IgE, dan mungkin dibantu ADCC (antibody dependent cell (mediated)
cytotoxicity)
-
Sitokin yang dilepas sel T, yang dipicu antigen spesifik, merangsang
proliferasi sel goblet dan sekresi bahan mukus yang menyelubungi cacing yang
dirusak è cacing dikeluarkan melalui peningkatan
gerakan usus yang diinduksi oleh mediator sel mast seperti LTD 4 dan diare
akibat pencegahan absorbsi natrium yang tergantung glukosa oleh histamin dan
prostaglandin dari sel mast.
-
Cacing terlalu besar untuk difagosit. Degranulasi sel mast/basofil
yang IgE dependen menghasilkan produksi histamin è spasme usus tempat cacing hidup. Eosinofil
menempel pada cacing melalui IgG/IgA dan melepas protein kationik, MBP dan
neurotoksin. PMN dan makrofag menempel melalui IgA/IgG dan melepas superoksida,
oksida nitrit dan enzim yang membunuh cacing.
3. Filariasis (dengan Th1 dan Th2)
-
Filariasis limfatik (menyumbat saluran limfe) menimbulkan CMI kronis,
fibrosis, akhirnya limfedema berat. Investasi persisten sering disertai
pembentukan kompleks antigen parasit dengan antibodi spesifik yang dapat
diendapkan di dinding pembuluh darah dan gromerulus ginjal è vaskulitis dan nefritis. Penyakit kompeks
imun dapat terjadi pada skistosima dan malaria.
-
Spektrum gejala filariasis limfatik begitu luas, mulai dari besar
jumlah parasit dengan sedikit gejala klinis sampai yang kronis dengan parasit
yang sedikit ditemukan.
-
Mikrofilaria dalam darah è sitokin Th2 menjadi dominan è dengan cepat respons sel T menghilang è peningkatan mencolok dari sintesis IgG4
spesifik parasit.
-
Induksi toleransi sel T terhadap parasit diduga terjadi dalam subset
Th1. Saat individu sakit, toleransi dipatahkan dan respons terhadap Th1 dan Th2
meningkat dramatis. Baik respons Th1 maupun Th2 terhadap antigen filaria
ditemukan pada individu yang imun terhadap infeksi ulang è kedua respons Th dianggap penting pada
proteksi pejamu dan patogenesis filariasis.
4. Respons Th1 dan Th2 pada infeksi parasit
Infeksi parasit intraselular, gambaran kedua respons tersebut
berhubungan dengan prognosis baik atau buruk. Dalam menentukan perjalanan
penyakit, peran Th1 dan Th2 pada penyakit parasit lebih kompleks.
C.
Mekanisme parasit menghindar sistem imun
1. Pengaruh lokasi, tidak terpajan sistem imun,
misalnya di intrasel (beberapa protozoa) dan di lumen usus halus (cacing)
2. Supresi sistem imun pejamu
-
Antigen yang dilepas parasit dalam jumlah besar dapat mengurangi
efektivitas respon imun.
-
Anergi sel T ditemukan pada skistosomiasis berat yang mengenai hati
dan limpa dan infestasi filaria.
-
Pada filariasis limfatik, infeksi kelenjar getah bening merusak
arsitektur kelenjar dan mengakibatkan defisiensi imun.
2.2 Pembentukan Kekebalan Infeksi Primer
Parasit cacing yang menginfeksi manusia meliputi berbagai
trematoda (Schistosoma), beberapa
cestoda (cacing pita) dan beberapa nematoda (Trichinella spiralis, Ascaris, Filaria, dan Ankilostoma). Berbagai
jenis parasit tersebut mempunyai siklus hidup dengan melalui bermacam hewan
perantara (vektor). Selain penyebaran geografik yang berbeda-beda, demikian
pula penyakit yang di timbulkan dapat jauh berbeda. Semakin besar ukuran
parasit yang menyerang, semakin banyak jumlah jenis antigennya yang akan
membangkitkan respon imun tubuh. Saat sel
limfosit B bertemu dengan antigen dan cocok akan
menyebabkan limfosit B membelah secara mitosis dan menghasilkan
beberapa sel limfosit B. Semua Limfosit b segera melepaskan antibodi yang
mereka punya dan merangsang sel Mast untuk menghancurkan antigen atau sel yang
sudah terserang antigen untuk mengeluarkan histamin. 1 sel limfosit B dibiarkan
tetap hidup untuk menyimpan antibodi yang sama sebelum penyerang terjadi.
Limfosit B yang tersisa ini disebut limfosit B memori. Inilah proses respon
imun primer. Antigen yang memiliki dari beberapa parasit bergantung
pada tahap siklus hidupnya. Parasit-parasit tersebut sering kali mempunyai
siklus yang rumit dan kadang-kadang membutuhkan vektor agar dapat pindah dari
satu jenis ke inang yang lain.
Biasanya
antibody efektif terhadap bentuk parasit yang hidup dalam peredaran darah.
Produksi IgE meningkat pada kasus infeksi cacing, yang dengan aktifasi
degranulasi mastosit ECF-A dapat mendorong pengumpulan sel eosinofil yang
berpotensi membunuh cacing dalam jaringan. IgE berperan sangat penting dalam
mekanisme pertahanan, khususnya terhadap cacing. Seperti diketahui mastosit
yang diselubungi oleh molekul IgE akan terpicu melepaskan berbagai mediator,
apabila antigen pasangannya terikat pada Fab-nya. Diantara mediator tersebut
terdapat ECF (eosinophil chemotactic
factor) yang dilepaskan. Adanya ECF yang dilepaskan, sel-sel eosinofil akan
mendekati parasit yang berefek dapat membunuh Schistosomula yang telah diselubungi oleh IgE.
2.3 Pembentukan Kekebalan Infeksi Sekunder
Dalam kondisi sistem yang tidak akan
pernah melenyapkan substansi, berlangsung reaksi sekunder yang merupakan respon
spesifik yang mekanismenya lebih canggih. Pada mekanisme tersebut terdapat dua
kemungkinan mekanisme efektor, yaitu mekanisme imunitas humoral, spesifek, yang
melibatkan limfosit B, dan mekanisme imunitas
seluler spesifik yang melibatkan limfosit T. Dalam mekanisme efektor
humoral diproduksi berbagai kelas antibody, yaitu IgG, IgM, IgA, IgE, dan IgD,
sedangkan pada mekanisme efektor selular di produksi berbagai jenis sitokin
yang akan bekerja pada sasarannya. Pada respon sekunder ini, konfigurasi asing,
baik sebagai partikel atau mikroba seharusnya dapat secara sempurna dilenyapkan
oleh kedua jenis mekanisme efektor yang bersifat spesifik.
Respon imun sekunder ditandai jika saat antigen yang sama menyerang
kembali, Limfosit B dengan cepat menghasilkan lebih banyak sel Limfosit B
daripada sebelumnya. Semuanya melepaskan antibodi dan merangsang sel Mast
mengeluarkan histamin untuk membunuh antigen tersebut. Kemudian, 1 limfosit B
dibiarkan hidup untuk menyimpan antibodi yang ada dari sebelumnya. Hal ini
menyebabkan kenapa respon imun sekunder jauh lebih cepat daripada respon imun
primer.
Dipihak lain limfosit
T yang menghasilkan limfokin, sangat penting untuk mengaktifkan sel makrofag
agar dapat membunuh parasit secara intraseluler. Biasanya sel-sel penghasil
limfokin sangat berperan dalam mekanisme pertahanan, namun lebih penting lagi
perbandingan dengan populasi lainnya. Tetapi limfosit TCD8+ juga
mempunyai peran protektif terhadap infeksi cacing.
2.4 Aplikasi Imunisasi Terhadap Filaria
Yang bisa dilakukan masyarakat saat ini karena vaksinnya belum ada atau
belum ditemukan adalah :
·
Hindari gigitan
nyamuk dengan upaya :
o Ventilasi rumah dipasang kawat kasa nyamuk
o Tidur memakai kelambu
o Memakai obat nyamuk bakar/semprot/oles
·
Berantas nyamuk
dengan upaya :
o 3M : menimbun, menguras & mengubur tempat perindukan
nyamuk.
o Bersihkan selokan agar air tidak tergenang
o Bersihkan semak-semak
o Pembersihan tanaman air dirawa-rawa yang akan menjadi
tempat perkembangbiakan.
·
Pengobatannya
Pengobatannya dengan menggunkan obat Diethylcarbamazine
Citrate (DEC) dan Albendazole yang terbukti efektif dalam memutus rantai
penularan pada daerah yang endemis filariasis.
Obat DEC sejak dulu
dikenal sebagai obat filariasis terpilih yang dapat membunuh mikrofilaria dan
cacing dewas sedangkan Albendazole adalah obat yang baru digunakan untuk
eliminasi filariasis. Obat ini biasa digunakan sebagai obat cacing usus dan
jaringan.
Obat lain yang digunakan
adalah obat untuk penaggulangan kejadian ikutan pasca pengobatan filariasis
yaitu parasetamol, antasida, deksametasone, injeksi Kortison dll.
Mekanisme kerjanya obat
DEC terhadap mikrofilaria adalah dengan melumpuhkan otot mikrofilaria, sehingga
tidak dapat bertahan ditempat hidupnya, mengubah komposis dinding mikrofilaria
menjadi lebih mudah dihancurkan oleh sistem pertahanan tubuh. Sedangkan
terhadap makrofilaria (cacing dewasa) adalah menyebabkan matinya cacing dewasa tetapi
mekanisme belum jelas, cacing dewasa yang masih hidup dapat dihambat untuk
memproduksi mikrofilaria selama sembilan sampai dua belas bulan.
BAB III
PENUTUP
III.1
Kesimpulan
Imunitas : Daya tahan tubuh untuk melawan penyakit atau melawan infeksi. Filariasis merupakan
penyakit menular yang disebabkan oleh cacing filaria yang ditularkan melalui
berbagai jenis nyamuk. Terdapat tiga spesies cacing penyebab Filariasis yaitu: Wuchereria
bancrofti; Brugia malayi; Brugia timori.
Respons yang bersifat non-spesifik merupakan respon
pertama dalam menghadapi konfigurasi, berbentuk proses fagositosis dan
peradangan. Apabila sistem berhasil penuh dalam menghadapi konfigurasi tersebut
tanpa adanya sisa-sisa yang ditinggalkan maka respons selanjutnya akan disudahi.
Tetapi kadang-kadang beberapa supstansi tidak secara sempurna dilenyapkan,
melainkan masih menetap dalam jaringan tubuh.
Respon imun sekunder ditandai jika saat antigen yang sama menyerang
kembali, Limfosit B dengan cepat menghasilkan lebih banyak sel Limfosit B
daripada sebelumnya. Semuanya melepaskan antibodi dan merangsang sel Mast
mengeluarkan histamin untuk membunuh antigen tersebut. Kemudian, 1 limfosit B dibiarkan
hidup untuk menyimpan antibodi yang ada dari sebelumnya. Hal ini menyebabkan
kenapa respon imun sekunder jauh lebih cepat daripada respon imun primer.
Sampai
saat ini vaksin untuk filariais belum ada atau belum ditemukan hanya dapat
dilakukan dengan upaya pengobatan.
III.2 Saran
1. Diharapkan segera diadakan Vaksin untuk filariasis.
2. Pada tim pengajar diharapkan dapat menjelaskan terlebih
dahulu tentang infeksi primer maupun sekunder agar mahasiswa tidak kesulitan
dalam mencari referensi.
DAFTAR PUSTAKA
Sobowo.2010.Imunologi Klinik. Bandung : Penerbit
Sagung Seto
Kresno, Siti B.2003.Imunologi
: Diagnosis Dan Prosedur Laboratorium. Jakarta : Penerbit FKUI
Purwantyastuti, Ridad Agoes et al.2007.Pedoman Penatalaksanaan Reaksi Samping
Pengobatan Filariasis. Jakarta : Depkes RI
Amalyha.2012. MAKALAH FILARIASIS http://indah-undefined.blogspot.com/2012/12/makalah-filariasis.html Kamis, 13 Desember 2012
lontar.ui.ac.id/file?file=digital/122788-S09047fk...pdf
fkunand2010.files.wordpress.com/2011/.../imunoparasit-fk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar